Sabtu, 27 Juni 2020

                     

    PENDIDIKAN INDONESIA
       DI PAPUA


Semenjak saya menempuh pendidikan dasar di Papua, kini saya sadar bahwa pendidikan yang saya lalui sangatlah jauh dari penididkan peradaban orang papua. Sedikit reflektif dari pendidikan yang saya lalui, pendidikan di Indonesia sangat memiliki doktrin ideology bangsa Indonesia (pemaksaan) yang penuh simbolik dan sepihak dari identitas orang Papua, dan jauh dari sejarah kehidupan orang Papua. Saya mengatakan sedemikian karena dalam pendidikan Indonesia, orang Papua dipaksakan belajar bahasa Indonesia, lagu Indonesia raya, Pancasila dan UU 45 dan Undang-Undang, serta berbagai peraturan Indonesia. Orang Indonesia membawa pola pendidikan Indonesia kepada orang-orang Papua untuk mengubah pola piker, nilai dan gaya hidup orang Papua dari peradabannya sendiri.

Sedangkan di Jawa, di kota study saya (Jawa Tengah) malah saya menemukan kalau di sekolah-sekolah dasar malah upacara bendera itu 2 kali se-tahun, tetapi di sekolah dasar saya dulu malah setiap hari senin kami harus upacara bendera, membacakan Pancasila dan UUD 1945, serta wajib menyanyikan lagu-lagu nasional. Di kelas-kelas, kami selalu belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejarah budaya di luar tanah Papua, tetapi belajar sejarah kami sendiri orang papua pun malah tidak ada sama sekali.

Pemerintah Indonesia sepertinya menghendaki terhadap orang Papua supaya nilai hidup, dan pandangan hidup orang Papua adalah tidak baik dan perlu diganti (sangat diskriminatif). Akhirnya,secara tidak sadar, sedikit demi sedikit generasi orang papua terkini telah meninggalkan pandangan hidup dan nilai-nilai hidup dari kehidupan orang papua, dan mengikuti kemauan negara Indonesia sesuai system yang memanipulasi kehidupan orang papua dari kehidupan sesungguhnya. Hal ini bisa kita lihat dimana, tanah-tanah orang Papua bisa diserahkan secara paksa maupun tidak kepada bangsa Indonesia, entah itu lewat modus jalan trans, pembangunan istanah Negara, pembangunan makobribob, investasi lapa sawit oleh Negara (MeeFe), penjualan tanah secara liar, dll.

Kalau kita mau melihat pada pola pendidikan adat orang Papua, justru mala membangun kebersamaan dalam satu-kesatuan yang utuh dan membuat orang Papua kuat menjadi dirinya sendiri secara individu, kelompok, dan kebangsaan. Sedangkan pola pendidikan orang Indonesia menghancurkan nilai-nilai pendidikan orang Papua. Nilai-nilai adat orang Papua mengajarkan orang Papua untuk bekerja bersama di kebun-kebun secara komunal untuk berburu dan memancing serta bagaimana membangun rumah.

Pendidikan orang Indonesia menghajarkan orang Papua, bagaimana orang harus bekerja untuk mendapatkan uang. Ketika orang Papua bekerja untuk mendapatkan uang, orang Papua tidak berpikir untuk bagaimana menggunakan dan membagi uang ini untuk sesama seperti yang dilakukan di kampong-kampung, tetapi mereka menyimpan untuk diri sendiri dan keluarga mereka. Padahal ini alifungsi ekonomi yang jauh dari peradaban social ekonomi orang Papua, dan ini adalah penindasan gaya baru (neoliberalisme) di tanah papua.

Tuntutan biaya-biaya pendidikan yang diselenggarakan orang Indonesia di Papua, orang Papua harus menjual tanah, hutan, gunung, air, danau untuk mendapatkan uang untuk membiayai pendidikan anak. Orang Papua harus kehilangan tanah dan hak-hak adatnya. Pada hal ada OTSUS yang melimpah ruah. Pendidikan di Indonesia sangat kapitalis dan tidak mendidik sesuai kebutuhan kemanusiaan dan penyelamatan tanah air di tanah Papua. Pendidikan Indonesia mahal dan masih terbungkam dedikasih akademisinya untuk menjawab realitas bangsa Papua. Hal ini mesti kita diskusikan secara seksama untuk masa depan pendidikan yang benar-benar membawa pembaharuan bagi masa depan orang Papua.

Hemat pemikiran saya, pendidikan sangatlah penting bagi orang papua terutama generasi untuk membawa masa depan papua di tingkat daerah, bangsa, dan dunia. Asalkan pendidikan orang Papua harus punya dasar kesadaran terkait persatuan sebagai generasi papua yang sadar untuk penyelamatan bangsanya yang terjajah oleh kepentingan kapitalistik di papua, dan juga kepentingan Negara Indonesia yang selalu menindas orang Papua di setiap sector social, ekonomi, politik, dan masalah kebangsaan bangsa papua yang perlu diluruskan sesuai sejarah orang papua.

Orang Papua yang sekolah harus membudayakan membaca (budaya literasi) untuk memahami sejarah politik bangsa papua yang sesungguhnya, diskusi terkait situasi papua (juga situasi di Indonesia dan Internasional), dan melakukan aksi protes sesuai akses demokrasi di Indonesia untuk menselaraskan apa teori yang dipelajari sampai pada tingkat praktek sesuai kebebasan penuh untuk membangun apa itu masa depan yang seharusnya untuk masa depan bangsa Papua.

Perlunya kesadaran dari kita semua generasi terdidik untuk bebas dari setiap perbudakan kapitalis, kolonialis, dan kejahatan kemanusiaan di Papua dengan cara-cara Perlawanan Revolusioner. Karena tanpa perlawanan semacam itu, maka percuma ilmu kita, dan kita hanyalah buruh-buruh yang siap dipakai sebagai budak penjajah di negeri kita sendiri. Hal ini generasi terdidik bangsa Papua harus bersatu, bangkit, dan lawan semua perlawanan terhadap perbudakan manusia, penindasan bangsa dan tanah air bangs papua secara nyata. Kata kuncinya ialah Persatuan Nasional di setiap sector perlawanan (gerakan sipil maupun gerilya hutan) secara terorganisir.

~ Oskar H. Gie

Minggu, 21 Juni 2020


Insiden 01 Desember 2019 Fakfak, West Papua.
Masyarakat Fakfak memperingati hari Manifesto Politik (01.12.1961) dengan bentuk kegiatan yang dilakukan adalah Ibadah (seruan Nasional West Papua). Proses itu dilakukan dengan long mars dari kampung ke pusat kota (jarak 50 Km). Namun massa long mars dihadang aparat gabungan dipertengahan jalan antara kampung ke kota (kamp. Warpa), negosiasi saat itu berujung dengan dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan. Pembubaran itu ditandai aparat dengan  membabi buta memukuli dan menendangi masa Sehingga masa beradu pukul, gertakan letupan senjata sehingga masa berlari sebagian masuk ke dalam hutan serta lainnya ditahan ada 23 orang oleh aparat gabungan dan diikat tangan dengan tali  dan kemudian 23 orang ini dibawa ke kantor Polres Fakfak untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Korban penembakan yang kemudian meninggal  (Amos Herietrenggi 30 thn) ditemukan mayatnya sudah membusuk pada tanggal 6 desember 2019. Berlanjut disaat hari itu pada jam 07.00 WP malamnya aparat gabungan melakukan penyisiran dari pertigaan kampung Kayuni dan menuju kampung Pikpik, seorang warga yang sedang duduk dipinggir jalan terkejut karena ada patroli dia pun meloncat dan melarikan diri seketika 3 tembakan dari arah patroli ke korban, tepat mengenai paha kanan tembus peluru tajam (david iba 20 thn).
Beberapa rumah warga yang berada di TKP diobrak-abrik aparat, termasuk anak-anak pun dipukuli aparat, seorang warga dipukul dari kepala belakang dengan menggunakan popor senjata dan 2 kali di tulang kering hingga memar, namun korban berhasil melarikan diri.

Kejanggalan yang ditemukan terhadap sidang dakwaan 23 tapol ini sesuai informasi yang didapat bahwa :
1. Para 23 Tapol di Sidangkan secara online dengan alasan Covid-19. (Kamis, 18/07/2020), Sidang online dilakukan bertahap yang diawali tiga orang terpisah dari lain sisanya.
2. Sidang dakwaan selanjutnya dilakukan online untuk 20 sisanya dan informasi tertutup sehingga Tim advokasi sulit untuk mendapatkan informasi.
3. Tidak ada kebebasan berdemokrasi di Fakfak.
4. Media di Fakfak terlihat memihak, sehingga informasi tertutup.

Kami Mahasiswa Fakfak di Jayapura Mendesak Pihak Hukum dan Kepolisian Fakfak :
1. Hentikan Diskriminasi Hukum.
2. Segera berikan Transparansi Sidang.
3. Tolak sidang Online, Fakfak belum masuk zona merah Covid-19.
4. Segera buka ruang untuk Jurnalis.
5. Hentikan tindakan Sok Terapi dan teror, kriminalisasi terhadap Aktivis Pro Demokrasi.
6. Bebaskan 23 Tapol West Papua di Fakfak.