Selasa, 11 Agustus 2020

Hari jadinnya bangsa papua di hina

Pada Tangal 16 sampai

Tangal 17 AGUSTUS HARI

LAHIRNYA PENGHINAAN

RASIS.

KEPADA ORANG PAPUA


Ingat, tanggal 16 Agustus

adalah hari rasis Papua. 


 Siapapun orang Papua

yang identik dengan

monyet bila ikut merayakan

kemerdekaan Indonesia

pada tanggal 17 Agustus,

di dicap sebagai penghina

ras.


Karena hari penghinaan

rasmu tanggal 16 Agustus,

jadi anda sebagai monyet

tidak layak merayakan hari

HUT Indonesia 17 Agustus.


Bila Anda ikut

merayakannya maka anda

adalah monyet peliharaan

Indonesia di sangkar

Indonesia, yang sedang

menikmati pisang

Indonesia pada 17 Agustus

itu.


Untukmu para pejabat

monyet Papua 

SALAM SADAR.


Usul konkrit:

1. Seandainya saya

seorang pelajar yang

bagian dari monyet, saya

tidak akan mengikuti

upacara 17 Agustus.


2. Jika saya seorang

mahasiswa yang bagian

dari monyet, saya akan

memperingati hari rasis

Papua pada tanggal 16

Agustus.


3. Jika saya orang Papua

yang bagian dari monyet,

saya akan merayakan

dengan berbagai atribut

monyet sambil melakukan

kegiatan sehari-hari, pada

tanggal 16 Agustus.


4.jika saya seorang pejabat

gubernur dan Bupati

setanah Papua, dari Sorong

sampai Merauke yang

bagian dari monyet, saya

akan memakai lambang

monyet pada saat hari

ulang tahunnya Indonesia.


Salam monyet


Tolong sebarkan sebagai

informasi.

Selasa, 21 Juli 2020

KRITISISME PRAKTER DISKRIMINASI RASIAL DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNCEN.

1. PENGANTAR
Tulisan ini dapat dianggap sebagai catatan kritis In Corona Attack dalam 5 bulan ini. Bagi yang mau menanggapi boleh, asalkan dengan tanggapan yang konstruktif dan tidak berlebihan. Jika ada yang tidak berkenan bisa diabaikan. Anggap saja fiksi.  Sebab dalam alam demokrasi saat ini kebebasan berpendapat tidak dilarang. Jika ada yang keberatan dan ingin menyanggah juga boleh. Tetapi dengan data, bukan asal crot. Anggaplah ini suatu autokritik untuk kita yang bekerja untuk kemanusiaan karena sumpah hipokrates yang mengikat. Meski pada kenyataannya sumpah itu hanya menguap menjadi pelengkap formalitas yang tidak bermakna apa-apa. Karena alkitab/injil saja bisa dilanggar, apa lagi hanya sekedar sumpah?
*
Kata siapa suatu lembaga pendidikan tinggi itu bebas dan bersih dari ujaran, pikiran dan tindakan berbau diskriminasi rasial (Racial Discrimination). Meski praktek diskriminasi rasialis itu telah dilarang sejak setengah abad lalu oleh PBB dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada beberapa tahun kemudian dengan UU SARA, namun dalam prakteknya masih terus terjadi secara samar-samar dengan wujudnya yang dikelola dan dikendalikan sede-mikian rapi dan tak terasa. Siapa pelakunya? Pelakunya adalah para pengendali sistem yang dominan hanya dikuasai dan dijalankan oleh satu-dua suku bangsa. Lihat saja  di sekeliling anda. Misalnya di tempat di mana anda bekerja; di kantor, di Kampus, di Gereja, di Mall, di perusahaan atau dimana pun. Berapa jumlah (rasio) suku-suku bangsa yang bekerja di dalamnya. Bandingkan, apakah jumlah suatu suku dengan suku lainnya terpaut jauh atau berimbang. Jika jumlahnya terpaut jauh dan itu berlangsung terus menerus sejak lama. Maka ada permainan dan pengaturan yang menjajah berdasar unsur rasialisme bahkan agama.
Di Papua hal semacam itu sudah terjadi sejak dahulu bahkan di zaman OTSUS ini, sangat jelas terlihat. Maka tidak salah jika UU OTSUS sejak 2010 sudah disahkan oleh MRP dan rakyat Papua bahwa: ”Otsus Gatot” (Gagal Total). Mungkin para pengendali dan penguasa sistem itu tidak menyadarinya.  Lalu, apa sebenarnya praktek rasial yang bisa kita lihat dalam konteks FK Uncen? Sebenarnya sangat banyak, dan terjadi secara jelas dimana-mana. Hal ini juga terjadi di berbagai lembaga pendidikan tinggi lainnya di Papua. Apalagi di Kampus Uncen. Mungkin di Fakultas lain selain FK Uncen ini, masih terlihat dapat memprioritaskan anak-anak Papua dalam perekrutan dan meluluskan mahasiswa setiap tahunnya. Namun di FK Uncen sepertinya hal itu luput dengan alasan yang selalu sama (untuk 5 tahun terakhir ini). Nah, apa saja praktek diskriminasi rasialis tersebut. Mari kita coba uraikan satu persatu untuk dua contoh berikut.

2. KETIDAKADILAN PENERIMAAN MAHASISWA
Meski sudah berulang kali kami suarakan bahwa kehadiran FK Uncen di Papua itu demi menyiapkan SDM Kesehatan khususnya tenaga dokter asli Papua, sehingga kelak dapat melayani di kampungnya: di pedalaman, pegunungan, pesisir dan lembah sana terhadap orang-orangnya sendiri, hal itu selalu diabaikan. Bagai angin lalu. Seolah Epen deng kam pu OTSUS ! Para pengendali sistem yang berasal dari suku Melayu Indonesia, selalu berupaya agar upaya-upaya keberpihakan dan pemberdayaan serta proteksi yang merupakan roh utama amanat UU OTSUS 2001 itu tidak terwujud di FK Uncen. Mereka lebih berdalih bahwa FK Uncen ini merupakan lembaga vertikal bukan otonom.  Sikap defensif yang persis dengan pemerintah pusat dalam aspek politik, hukum dan HAM. Padahal aspek pendidikan dan Kesehatan adalah konsen utama mereka.
Hal itu terlihat lewat, sejak dahulu hingga kini penerimaan mahasiswa di FK Uncen selalu didominasi oleh kaum pendatang. Padahal di daerah mereka, orang Papua tidak ada bahkan tidak pernah mendominasi penerimaan apapun. Hanya sebaliknya, mereka semua lebih mendominasi di Papua. Seolah mereka berlomba-lomba merebut kesempatan dan peluang milik orang Papua yang tersedia di tanahnya sendiri.  Padahal nyatanya, orang Papua tidak pernah pergi dan monopoli di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku bahkan Sumatera dst. Tetapi ini yang terjadi justeru terbalik. Apakah ini karena watak dan sifat kerakusan dan keserakahan atau ini adalah dominasi dan proses peminggiran sistematis (baca:marjinalisasi) yang merupakan bentuk diskriminasi rasialisme abad ini? Jelas jawabannya tidak lain daripada itu semua: berkisar di antara itu. Bahkan bisa juga disebut sebagai praktek penjajahan gaya baru (baca:neokolonialisme). Sebab bangsa pribumi dibuat tak berdaya dan segala sendi kehidupannya dikuasai dan dikendalikan oleh bangsa pendatang atau imigran (bisa baca dan bandingkan: definisi dan praktek-praktek penjajahan/kolonialisme gaya baru).
Dalam beradu argumen, para pendatang yang dominan selalu sambil lalu mengedepankan Dekan atau PD 3 yang memang dipasang hanya sebagai cashing atau bamper seolah menunjukkan kalau upaya affirmasi itu benar-benar sudah diterapkan (dalam konteks pemimpin). Padahal, nyatanya sepenuhnya sistem yang ada dikendalikan oleh mereka dengan seluruh perangkat sistem kesukuan-rasialis yang terkoneksi ke basis sistem kekuasaan di pusat. Para pemimpin yang selalu menjadi palayan kaum dominan, tidak bisa banyak berkilah. Selain mengucapkan bahasa-bahasa titipan yang lebih memperlihatkan ketiadaan wibawa dan jati dirinya, mereka selalu berupaya menyampaikan banyak retorika kosong tak substantif. Dan lagi memalukan dan membosankan.
Dalam banyak kasus, para pimpinan kampus entah rektor, dekan, dan pembantu-pembantunya seringkali lebih gampang menyampaikan bahwa orang Papua itu harus ikuti sistem dan berjuang supaya bersaing dengan teman-teman non Papua (semudah beronani). Seolah mereka sendiri  sedang mengalami amnesia retrograt bahwa gelar, pangkat, spesialis dan kedudukan mereka, juga diperoleh di kampus asal almamater mereka karena melalui suatu sistem affirmasi khusus bagi orang Papua. Kami berikan apresiasi untuk beberapa dosen di FK Uncen yang bisa jujur mengakui hal ini, bahwa mereka juga selesai dan mendapat gelar spesialis karena adanya affirmasi dan kebijakan khusus bagi orang Papua di Jawa dan wilayah lainnya demi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan penyiapan dan perbanyakan SDM Kesehatan (dokter Umum dan Spesialis) di tanah Papua. Dan oleh karenanya mereka mendorong mahasiswa-mahasiswa (seperti penulis) untuk bersuara supaya ada kebijakan afirmatif juga di FK Uncen bagi orang asli Papua. (Ingat, di luar saja bisa lakukan afirmasi untuk orang Papua, tapi kenapa di FK Uncen yang ada di tanah Papua ini tidak bisa?).
Lantas jika sudah demikian, mengapa di FK Uncen hari ini harus ada yang anti penerimaan secara afirmatif? Apakah karena ada permainan atau ada konspirasi? Kalau tidak, mengapa tidak bisa membuka kebijakan afirmatif? Lagipula jumlah tenaga dokter di Papua sudah sejak moyang masih tetap sangat minim. Ingat, spesialis Paru (Sp.P) saja hanya 7 di Papua sejak tahun 1963 (Apa itu kebanggan menjadi NKRI?). Di beberapa kabupaten banyak Puskesmas tidak ada dokter dan rasio dokter penduduk di Papua itu sudah sejak lama masih jauh dari ideal (Apa itu suatu prestasi bersama NKRI?). Apakah hal ini biasa dipikirkan? Atau kita hanya sibuk dengan pekerjaan rutinan dan praktek yang entah sampai kapan berupaya membuta dan lebih memilih menumpuk kekayaan sampai ajal menjemput? Akumulasi dari semua itu, maka tidak salah jika orang Papua sejak dulu merasa bahwa mereka itu dijajah oleh bangsa dan penguasa Indonesia yang rasialis dan kolonialistik.

3. KETIDAKADILAN MENILAI MAHASISWA PAPUA
Adalah sesuatu yang lumrah jika seorang mahasiswa itu tidak diluluskan karena faktor minimnya pengetahuan, kedisiplinan dan bahkan mungkin keterampilan. Namun apa mau dikata, jika seseorang itu tidak diluluskan hanya karena asumsi bias “dia anak Papua, pasti kelakuan jelak dan bodoh” apalagi macam penulis yang orang gunung. Tanpa banyak berpikir dan bertanya akan cenderung dicap merah. Maksudnya merah apa? Silahkan pikirkan sendiri. Adalah hal lumrah dan bahkan telah menjadi semacam praktek yang disengaja. Terlepas dari kesalahan mereka yang barangkali penulis kurang tahu. Jika ada yang iseng melakukan sebuah kajian/pengamatan terkait mengapa banyak anak-anak asli Papua di FK Uncen terutama anak-anak asli Papua dari gunung banyak yang tidak lulus dan tidak bisa selesai jadi dokter, kita bisa mendapatkan fakta memprihatinkan. Terdapat beberapa mahasiswa yang sejak lama, ada yang sudah sampai 15 tahun sekolah tetapi belum juga selesai-selesai, entah karena apa. Tidak jelas. Hal-hal yang tampaknya sepeleh, tetapi seolah menjadi  masalah yang sangat kompleks bagi mahasiswa Papua.
Seorang dokter muda asal Papua yang sudah sekitar 10 tahun menjalani praktek di KOASS dengan menghabiskan hampir setengah masa muda hidupnya di KOASS menceritakan kepada penulis. Bahwa masalah dirinya sebenarnya tidak seberapa parah. Hanya karena dirinya sempat keluar dari suatu stase, lalu oleh dosen-dosennya yang adalah dokter tidak mau meluluskan dirinya sesudah itu. Berulang kali dia masuk di bagian yang sama tetapi tidak pernah selesai-selesai. Oleh mereka, dia sering dicoret dan dikeluarkan hanya karena alasan-alasan yang sebenarnya sangat sederhana bahkan terkesan mengada-ada untuk mempersulit dst. Selain itu, adapula yang tidak selesai karena beberapa dosen yang bertugas mendidik sambil bekerja, lebih sibuk bekerja melayani pasien daripada mendidik mahasiswa. Hal tersebut mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus antre menunggu untuk selesai di bagian tersebut. Hal itu juga berdampak pada waktu dan target selesai mereka yang makin panjang. Lebih disayangkan biaya yang keluar tidak bisa dihitung karena makin besar. Dan lebih banyak mahasiswa Papua dikenakan sanksi yang sebenarnya tidak perlu misalnya dari aspek disiplin waktu, miskomunikasi dan hal-hal lain yang tidak terlalu mendasar. Akhirnya semua itu selalu mengakibatkan banyak mahasiswa Papua yang selesai setiap tahun sangat sedikit. Sedangkan para pendatang selalu pasti dominan setiap tahun.
Apalagi dalam konteks anak gunung. Lihat saja selama 4 atau 5 tahun pelantikan dokter, dalam masa dekan yang sekarang, mungkin paling banyak hanya 5 orang yang sudah dilantik menjadi dokter. Artinya angka kelulusannya: 1 orang dokter asal gunung setiap tahun. Mengapa demikian? Alasannya tidak lebih sudah diutarakan di atas. Hal-hal serupa juga berlaku di pendidikan kampus atau praklinik. Anak-anak Papua yang sudah dari budayanya lebih solider dan lebih jujur dan lebih mengedepankan kebersamaan dan menjunjung nilai-nilai sosial. Dalam ruang dan waktu tertentu mereka harus menerima sanksi dan tidak lulus akibat dikenakan hukuman dan sering dianggap (Lola) loading lambat, tidak bisa selesai mengerjakan tugas dan ujian karena akses terhadap soal-soal/kisi-kisi yang terbatas. Namun sebaliknya anak-anak pendatang yang memiliki akses ke dosen dan ke sesama mereka  yang dominan dan menguasai, mereka dapat memperoleh kisi-kisi, bocoran soal sehingga dalam ujian mereka bisa lulus semua dan cepat selesai.
Dalam rangka mendapat bocoran soal atau apa (katanya supaya bisa belajar dari teman-teman pendatang), anak-anak Papua selalu disarankan oleh dosen-dosen agar belajar dan bergaul dengan para pendatang. Padahal semuanya hanya karena soal dominasi dan akses kepada kekuasaan dan pusat. Semua persoalan yang bernuansa rasialis ini justeru terjadi di Papua dan ada kesan terdapat kesengajaan oleh mereka yang menguasai dan mengendalikan sistem. Padahal di luar Papua hal semacam itu dihindari demi mempercepat pembangunan orang Papua. Ini justeru terlihat sangat paradoksal. Apakah ini karena ada upaya penguasaan sistem kedokteran dan kesehatan oleh para dokter yang ada saat ini guna melakukan praktek monopoli dan melanggengkan status quo? Ataukah ini adalah sistem yang memang sedang dipelihara untuk terus membiarkan orang Papua habis (baca:punah) melalui proses pembiaran atas kebobrokan sistem kesehatan sebagai strategi dalam mendepopulasikan Orang Papua selain melalui penembakan? Semua itu jelas terus mempengaruh persepsi publik suku-suku bangsa yang menderita dan mengalaminya sejak lama.

4. PENUTUP
Ada banyak persoalan yang dihadapi dalam pengalaman praksis rasialisme di dalam sistem  pendidikan di Uncen khususnya di FK Uncen. Tapi untuk sementara ini, cukup hanya sampai di sini dulu. Nanti disambung lagi di lain waktu. Dan satu hal yang ingin penulis sampaikan adalah begini. Semua perilaku, khususnya dari kaum pendatang di tanah Papua terhadap orang Papua yang dengannya selalu memainkan praktek monopoli-diskriminasi berdasar perbedaan rasial pada bagian-bagian tertentu (profesi, jabatan dan posisi-posisi kerjaan lain) yang merupakan kepunyaan orang Papua, maka selama hal tersebut terus terjadi sampai selama-lamanya hanya akan membuat semua upaya pembangunan atau proses untuk merebut hati orang Papua untuk menjadi bagian dari NKRI itu kian sukar. Dan pemerintah NKRI akan selalu dipandang GAGAL dalam membangun dan meng-Indonesia-kan orang asli Papua. Itu adalah konsekuensi yang pasti. Sangat pasti.
Dalam kondisi demikian, para pimpinan pendidikan tinggi yang sebenarnya anak asli Papua adalah pribadi yang paling ikut bertanggung jawab baik terhadap kegagalan memajukan sektor kesehatan Papua, menyelamatkan nyawa-nyawa manusia Papua dipelosok-pelosok yang setiap hari meninggal karena gizi buruk, tidak adanya pemerataan SDM dokter di seluruh tanah Papua dsb. Hingga akhirnya berdampak pada kepunahan Orang Asli Papua merupakan tanggung jawab mereka di hadapan Sang Pencipta karena abai dan cenderung mengurus kepentingan pribadi, kelompok suku dan golongan strata sosial maupun profesi yang cenderung melanggar sumpah janji hipokrates dst.**

Penulis.pace papua.

Sabtu, 27 Juni 2020

                     

    PENDIDIKAN INDONESIA
       DI PAPUA


Semenjak saya menempuh pendidikan dasar di Papua, kini saya sadar bahwa pendidikan yang saya lalui sangatlah jauh dari penididkan peradaban orang papua. Sedikit reflektif dari pendidikan yang saya lalui, pendidikan di Indonesia sangat memiliki doktrin ideology bangsa Indonesia (pemaksaan) yang penuh simbolik dan sepihak dari identitas orang Papua, dan jauh dari sejarah kehidupan orang Papua. Saya mengatakan sedemikian karena dalam pendidikan Indonesia, orang Papua dipaksakan belajar bahasa Indonesia, lagu Indonesia raya, Pancasila dan UU 45 dan Undang-Undang, serta berbagai peraturan Indonesia. Orang Indonesia membawa pola pendidikan Indonesia kepada orang-orang Papua untuk mengubah pola piker, nilai dan gaya hidup orang Papua dari peradabannya sendiri.

Sedangkan di Jawa, di kota study saya (Jawa Tengah) malah saya menemukan kalau di sekolah-sekolah dasar malah upacara bendera itu 2 kali se-tahun, tetapi di sekolah dasar saya dulu malah setiap hari senin kami harus upacara bendera, membacakan Pancasila dan UUD 1945, serta wajib menyanyikan lagu-lagu nasional. Di kelas-kelas, kami selalu belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejarah budaya di luar tanah Papua, tetapi belajar sejarah kami sendiri orang papua pun malah tidak ada sama sekali.

Pemerintah Indonesia sepertinya menghendaki terhadap orang Papua supaya nilai hidup, dan pandangan hidup orang Papua adalah tidak baik dan perlu diganti (sangat diskriminatif). Akhirnya,secara tidak sadar, sedikit demi sedikit generasi orang papua terkini telah meninggalkan pandangan hidup dan nilai-nilai hidup dari kehidupan orang papua, dan mengikuti kemauan negara Indonesia sesuai system yang memanipulasi kehidupan orang papua dari kehidupan sesungguhnya. Hal ini bisa kita lihat dimana, tanah-tanah orang Papua bisa diserahkan secara paksa maupun tidak kepada bangsa Indonesia, entah itu lewat modus jalan trans, pembangunan istanah Negara, pembangunan makobribob, investasi lapa sawit oleh Negara (MeeFe), penjualan tanah secara liar, dll.

Kalau kita mau melihat pada pola pendidikan adat orang Papua, justru mala membangun kebersamaan dalam satu-kesatuan yang utuh dan membuat orang Papua kuat menjadi dirinya sendiri secara individu, kelompok, dan kebangsaan. Sedangkan pola pendidikan orang Indonesia menghancurkan nilai-nilai pendidikan orang Papua. Nilai-nilai adat orang Papua mengajarkan orang Papua untuk bekerja bersama di kebun-kebun secara komunal untuk berburu dan memancing serta bagaimana membangun rumah.

Pendidikan orang Indonesia menghajarkan orang Papua, bagaimana orang harus bekerja untuk mendapatkan uang. Ketika orang Papua bekerja untuk mendapatkan uang, orang Papua tidak berpikir untuk bagaimana menggunakan dan membagi uang ini untuk sesama seperti yang dilakukan di kampong-kampung, tetapi mereka menyimpan untuk diri sendiri dan keluarga mereka. Padahal ini alifungsi ekonomi yang jauh dari peradaban social ekonomi orang Papua, dan ini adalah penindasan gaya baru (neoliberalisme) di tanah papua.

Tuntutan biaya-biaya pendidikan yang diselenggarakan orang Indonesia di Papua, orang Papua harus menjual tanah, hutan, gunung, air, danau untuk mendapatkan uang untuk membiayai pendidikan anak. Orang Papua harus kehilangan tanah dan hak-hak adatnya. Pada hal ada OTSUS yang melimpah ruah. Pendidikan di Indonesia sangat kapitalis dan tidak mendidik sesuai kebutuhan kemanusiaan dan penyelamatan tanah air di tanah Papua. Pendidikan Indonesia mahal dan masih terbungkam dedikasih akademisinya untuk menjawab realitas bangsa Papua. Hal ini mesti kita diskusikan secara seksama untuk masa depan pendidikan yang benar-benar membawa pembaharuan bagi masa depan orang Papua.

Hemat pemikiran saya, pendidikan sangatlah penting bagi orang papua terutama generasi untuk membawa masa depan papua di tingkat daerah, bangsa, dan dunia. Asalkan pendidikan orang Papua harus punya dasar kesadaran terkait persatuan sebagai generasi papua yang sadar untuk penyelamatan bangsanya yang terjajah oleh kepentingan kapitalistik di papua, dan juga kepentingan Negara Indonesia yang selalu menindas orang Papua di setiap sector social, ekonomi, politik, dan masalah kebangsaan bangsa papua yang perlu diluruskan sesuai sejarah orang papua.

Orang Papua yang sekolah harus membudayakan membaca (budaya literasi) untuk memahami sejarah politik bangsa papua yang sesungguhnya, diskusi terkait situasi papua (juga situasi di Indonesia dan Internasional), dan melakukan aksi protes sesuai akses demokrasi di Indonesia untuk menselaraskan apa teori yang dipelajari sampai pada tingkat praktek sesuai kebebasan penuh untuk membangun apa itu masa depan yang seharusnya untuk masa depan bangsa Papua.

Perlunya kesadaran dari kita semua generasi terdidik untuk bebas dari setiap perbudakan kapitalis, kolonialis, dan kejahatan kemanusiaan di Papua dengan cara-cara Perlawanan Revolusioner. Karena tanpa perlawanan semacam itu, maka percuma ilmu kita, dan kita hanyalah buruh-buruh yang siap dipakai sebagai budak penjajah di negeri kita sendiri. Hal ini generasi terdidik bangsa Papua harus bersatu, bangkit, dan lawan semua perlawanan terhadap perbudakan manusia, penindasan bangsa dan tanah air bangs papua secara nyata. Kata kuncinya ialah Persatuan Nasional di setiap sector perlawanan (gerakan sipil maupun gerilya hutan) secara terorganisir.

~ Oskar H. Gie

Minggu, 21 Juni 2020


Insiden 01 Desember 2019 Fakfak, West Papua.
Masyarakat Fakfak memperingati hari Manifesto Politik (01.12.1961) dengan bentuk kegiatan yang dilakukan adalah Ibadah (seruan Nasional West Papua). Proses itu dilakukan dengan long mars dari kampung ke pusat kota (jarak 50 Km). Namun massa long mars dihadang aparat gabungan dipertengahan jalan antara kampung ke kota (kamp. Warpa), negosiasi saat itu berujung dengan dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan. Pembubaran itu ditandai aparat dengan  membabi buta memukuli dan menendangi masa Sehingga masa beradu pukul, gertakan letupan senjata sehingga masa berlari sebagian masuk ke dalam hutan serta lainnya ditahan ada 23 orang oleh aparat gabungan dan diikat tangan dengan tali  dan kemudian 23 orang ini dibawa ke kantor Polres Fakfak untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Korban penembakan yang kemudian meninggal  (Amos Herietrenggi 30 thn) ditemukan mayatnya sudah membusuk pada tanggal 6 desember 2019. Berlanjut disaat hari itu pada jam 07.00 WP malamnya aparat gabungan melakukan penyisiran dari pertigaan kampung Kayuni dan menuju kampung Pikpik, seorang warga yang sedang duduk dipinggir jalan terkejut karena ada patroli dia pun meloncat dan melarikan diri seketika 3 tembakan dari arah patroli ke korban, tepat mengenai paha kanan tembus peluru tajam (david iba 20 thn).
Beberapa rumah warga yang berada di TKP diobrak-abrik aparat, termasuk anak-anak pun dipukuli aparat, seorang warga dipukul dari kepala belakang dengan menggunakan popor senjata dan 2 kali di tulang kering hingga memar, namun korban berhasil melarikan diri.

Kejanggalan yang ditemukan terhadap sidang dakwaan 23 tapol ini sesuai informasi yang didapat bahwa :
1. Para 23 Tapol di Sidangkan secara online dengan alasan Covid-19. (Kamis, 18/07/2020), Sidang online dilakukan bertahap yang diawali tiga orang terpisah dari lain sisanya.
2. Sidang dakwaan selanjutnya dilakukan online untuk 20 sisanya dan informasi tertutup sehingga Tim advokasi sulit untuk mendapatkan informasi.
3. Tidak ada kebebasan berdemokrasi di Fakfak.
4. Media di Fakfak terlihat memihak, sehingga informasi tertutup.

Kami Mahasiswa Fakfak di Jayapura Mendesak Pihak Hukum dan Kepolisian Fakfak :
1. Hentikan Diskriminasi Hukum.
2. Segera berikan Transparansi Sidang.
3. Tolak sidang Online, Fakfak belum masuk zona merah Covid-19.
4. Segera buka ruang untuk Jurnalis.
5. Hentikan tindakan Sok Terapi dan teror, kriminalisasi terhadap Aktivis Pro Demokrasi.
6. Bebaskan 23 Tapol West Papua di Fakfak.

Rabu, 15 April 2020

NEGERI KAMI DI KUASI OLEH PENGUSA

Ternyata kamorang semua gampang dibuai mesra.Taktik politik "Kelompok Pelindung Tahta" telah mampu membutakan mata & otak kalian pak pak mani, hirietmani.
Blunder bluder politik yang telah mereka lakukan tidak ingin tercium lama dan diviralkan dalam rentang wakut yang lama untuk menjadi tontonan kebodohan mereka.

Maka diciptakanlah sumber sumber konflik media dan kalian pun larut tenggelam di dalamnya.Kelompok ini sempat membuat beberapa blunder dalam taktik politiknya.

• Blunder Pertama, media sokongan mereka yang hanya mementingkan nama, berhasil mengungkap aib mereka melalui peristiwa speed boat Kitikiti yang mengangkut 3 ASN pelindung kandidat pewaris tahta sultan.
• Blunder kedua; proyek penciteraan alat pencegahan covid19 di beberapa Faskes (Profil tank Berlogo);
• Blunder ketiga; Pernyataan pers salah satu Orang Terbodoh yang sok pintar saat mengeluarkan opini terlucu sejagat negeri pertiwi ini, dengan pernyataan atau opini "Jangan Tunda PILKADA FAKFAK walau dalam masa darurat penyebaran covid19 di Fakfak"; dan
• Blunder Keempat; Beredarnya surat sang pemberi warisan tahta & rekomendasi ketua satgas (the black sheep) covid19 untuk kepulangan 37 masyarakat (keluarga) Timses mereka ke Fakfak.

Saudara-saudariku.......
Analisa kami tidak pernah meleset karena kami benar benar mengikuti arah pergerakan politik kepentingan perlindungan tahta mereka sejak bulan Januari 2019 silam.

Kelompok Pelindung Tahta "Sultan" ini begitu lihai dan rakus memainkan opini dan membentuk isu2 sentral yang sebenarnya hanya bersifat "PENGALIHAN".

Jadi saya wajib untuk mengingatkan kita bahwa rencana penanggulangan/pencegahan covid19 di Fakfak telah terkontaminasi dengan alur politik kepentingan kelompok pewaris & pelindung tahta 2020-2025 atau yang akan bergeser menjad 2021-2026.

Kemudian Program pencegahan covid19 seolah olah telah menjadi DRAMA KOREA yang penuh dengan akting lebay.

Mogemein nia-nou-naga-herenggindik-nen-nan tersayang.Semoga leluhur negeri ini akan tetap bersama kita dalam lindungan Tuhan yang maha esa. Amin
 https://papuaj96.blogspot.com.