Selasa, 21 Juli 2020

KRITISISME PRAKTER DISKRIMINASI RASIAL DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNCEN.

1. PENGANTAR
Tulisan ini dapat dianggap sebagai catatan kritis In Corona Attack dalam 5 bulan ini. Bagi yang mau menanggapi boleh, asalkan dengan tanggapan yang konstruktif dan tidak berlebihan. Jika ada yang tidak berkenan bisa diabaikan. Anggap saja fiksi.  Sebab dalam alam demokrasi saat ini kebebasan berpendapat tidak dilarang. Jika ada yang keberatan dan ingin menyanggah juga boleh. Tetapi dengan data, bukan asal crot. Anggaplah ini suatu autokritik untuk kita yang bekerja untuk kemanusiaan karena sumpah hipokrates yang mengikat. Meski pada kenyataannya sumpah itu hanya menguap menjadi pelengkap formalitas yang tidak bermakna apa-apa. Karena alkitab/injil saja bisa dilanggar, apa lagi hanya sekedar sumpah?
*
Kata siapa suatu lembaga pendidikan tinggi itu bebas dan bersih dari ujaran, pikiran dan tindakan berbau diskriminasi rasial (Racial Discrimination). Meski praktek diskriminasi rasialis itu telah dilarang sejak setengah abad lalu oleh PBB dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada beberapa tahun kemudian dengan UU SARA, namun dalam prakteknya masih terus terjadi secara samar-samar dengan wujudnya yang dikelola dan dikendalikan sede-mikian rapi dan tak terasa. Siapa pelakunya? Pelakunya adalah para pengendali sistem yang dominan hanya dikuasai dan dijalankan oleh satu-dua suku bangsa. Lihat saja  di sekeliling anda. Misalnya di tempat di mana anda bekerja; di kantor, di Kampus, di Gereja, di Mall, di perusahaan atau dimana pun. Berapa jumlah (rasio) suku-suku bangsa yang bekerja di dalamnya. Bandingkan, apakah jumlah suatu suku dengan suku lainnya terpaut jauh atau berimbang. Jika jumlahnya terpaut jauh dan itu berlangsung terus menerus sejak lama. Maka ada permainan dan pengaturan yang menjajah berdasar unsur rasialisme bahkan agama.
Di Papua hal semacam itu sudah terjadi sejak dahulu bahkan di zaman OTSUS ini, sangat jelas terlihat. Maka tidak salah jika UU OTSUS sejak 2010 sudah disahkan oleh MRP dan rakyat Papua bahwa: ”Otsus Gatot” (Gagal Total). Mungkin para pengendali dan penguasa sistem itu tidak menyadarinya.  Lalu, apa sebenarnya praktek rasial yang bisa kita lihat dalam konteks FK Uncen? Sebenarnya sangat banyak, dan terjadi secara jelas dimana-mana. Hal ini juga terjadi di berbagai lembaga pendidikan tinggi lainnya di Papua. Apalagi di Kampus Uncen. Mungkin di Fakultas lain selain FK Uncen ini, masih terlihat dapat memprioritaskan anak-anak Papua dalam perekrutan dan meluluskan mahasiswa setiap tahunnya. Namun di FK Uncen sepertinya hal itu luput dengan alasan yang selalu sama (untuk 5 tahun terakhir ini). Nah, apa saja praktek diskriminasi rasialis tersebut. Mari kita coba uraikan satu persatu untuk dua contoh berikut.

2. KETIDAKADILAN PENERIMAAN MAHASISWA
Meski sudah berulang kali kami suarakan bahwa kehadiran FK Uncen di Papua itu demi menyiapkan SDM Kesehatan khususnya tenaga dokter asli Papua, sehingga kelak dapat melayani di kampungnya: di pedalaman, pegunungan, pesisir dan lembah sana terhadap orang-orangnya sendiri, hal itu selalu diabaikan. Bagai angin lalu. Seolah Epen deng kam pu OTSUS ! Para pengendali sistem yang berasal dari suku Melayu Indonesia, selalu berupaya agar upaya-upaya keberpihakan dan pemberdayaan serta proteksi yang merupakan roh utama amanat UU OTSUS 2001 itu tidak terwujud di FK Uncen. Mereka lebih berdalih bahwa FK Uncen ini merupakan lembaga vertikal bukan otonom.  Sikap defensif yang persis dengan pemerintah pusat dalam aspek politik, hukum dan HAM. Padahal aspek pendidikan dan Kesehatan adalah konsen utama mereka.
Hal itu terlihat lewat, sejak dahulu hingga kini penerimaan mahasiswa di FK Uncen selalu didominasi oleh kaum pendatang. Padahal di daerah mereka, orang Papua tidak ada bahkan tidak pernah mendominasi penerimaan apapun. Hanya sebaliknya, mereka semua lebih mendominasi di Papua. Seolah mereka berlomba-lomba merebut kesempatan dan peluang milik orang Papua yang tersedia di tanahnya sendiri.  Padahal nyatanya, orang Papua tidak pernah pergi dan monopoli di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku bahkan Sumatera dst. Tetapi ini yang terjadi justeru terbalik. Apakah ini karena watak dan sifat kerakusan dan keserakahan atau ini adalah dominasi dan proses peminggiran sistematis (baca:marjinalisasi) yang merupakan bentuk diskriminasi rasialisme abad ini? Jelas jawabannya tidak lain daripada itu semua: berkisar di antara itu. Bahkan bisa juga disebut sebagai praktek penjajahan gaya baru (baca:neokolonialisme). Sebab bangsa pribumi dibuat tak berdaya dan segala sendi kehidupannya dikuasai dan dikendalikan oleh bangsa pendatang atau imigran (bisa baca dan bandingkan: definisi dan praktek-praktek penjajahan/kolonialisme gaya baru).
Dalam beradu argumen, para pendatang yang dominan selalu sambil lalu mengedepankan Dekan atau PD 3 yang memang dipasang hanya sebagai cashing atau bamper seolah menunjukkan kalau upaya affirmasi itu benar-benar sudah diterapkan (dalam konteks pemimpin). Padahal, nyatanya sepenuhnya sistem yang ada dikendalikan oleh mereka dengan seluruh perangkat sistem kesukuan-rasialis yang terkoneksi ke basis sistem kekuasaan di pusat. Para pemimpin yang selalu menjadi palayan kaum dominan, tidak bisa banyak berkilah. Selain mengucapkan bahasa-bahasa titipan yang lebih memperlihatkan ketiadaan wibawa dan jati dirinya, mereka selalu berupaya menyampaikan banyak retorika kosong tak substantif. Dan lagi memalukan dan membosankan.
Dalam banyak kasus, para pimpinan kampus entah rektor, dekan, dan pembantu-pembantunya seringkali lebih gampang menyampaikan bahwa orang Papua itu harus ikuti sistem dan berjuang supaya bersaing dengan teman-teman non Papua (semudah beronani). Seolah mereka sendiri  sedang mengalami amnesia retrograt bahwa gelar, pangkat, spesialis dan kedudukan mereka, juga diperoleh di kampus asal almamater mereka karena melalui suatu sistem affirmasi khusus bagi orang Papua. Kami berikan apresiasi untuk beberapa dosen di FK Uncen yang bisa jujur mengakui hal ini, bahwa mereka juga selesai dan mendapat gelar spesialis karena adanya affirmasi dan kebijakan khusus bagi orang Papua di Jawa dan wilayah lainnya demi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan penyiapan dan perbanyakan SDM Kesehatan (dokter Umum dan Spesialis) di tanah Papua. Dan oleh karenanya mereka mendorong mahasiswa-mahasiswa (seperti penulis) untuk bersuara supaya ada kebijakan afirmatif juga di FK Uncen bagi orang asli Papua. (Ingat, di luar saja bisa lakukan afirmasi untuk orang Papua, tapi kenapa di FK Uncen yang ada di tanah Papua ini tidak bisa?).
Lantas jika sudah demikian, mengapa di FK Uncen hari ini harus ada yang anti penerimaan secara afirmatif? Apakah karena ada permainan atau ada konspirasi? Kalau tidak, mengapa tidak bisa membuka kebijakan afirmatif? Lagipula jumlah tenaga dokter di Papua sudah sejak moyang masih tetap sangat minim. Ingat, spesialis Paru (Sp.P) saja hanya 7 di Papua sejak tahun 1963 (Apa itu kebanggan menjadi NKRI?). Di beberapa kabupaten banyak Puskesmas tidak ada dokter dan rasio dokter penduduk di Papua itu sudah sejak lama masih jauh dari ideal (Apa itu suatu prestasi bersama NKRI?). Apakah hal ini biasa dipikirkan? Atau kita hanya sibuk dengan pekerjaan rutinan dan praktek yang entah sampai kapan berupaya membuta dan lebih memilih menumpuk kekayaan sampai ajal menjemput? Akumulasi dari semua itu, maka tidak salah jika orang Papua sejak dulu merasa bahwa mereka itu dijajah oleh bangsa dan penguasa Indonesia yang rasialis dan kolonialistik.

3. KETIDAKADILAN MENILAI MAHASISWA PAPUA
Adalah sesuatu yang lumrah jika seorang mahasiswa itu tidak diluluskan karena faktor minimnya pengetahuan, kedisiplinan dan bahkan mungkin keterampilan. Namun apa mau dikata, jika seseorang itu tidak diluluskan hanya karena asumsi bias “dia anak Papua, pasti kelakuan jelak dan bodoh” apalagi macam penulis yang orang gunung. Tanpa banyak berpikir dan bertanya akan cenderung dicap merah. Maksudnya merah apa? Silahkan pikirkan sendiri. Adalah hal lumrah dan bahkan telah menjadi semacam praktek yang disengaja. Terlepas dari kesalahan mereka yang barangkali penulis kurang tahu. Jika ada yang iseng melakukan sebuah kajian/pengamatan terkait mengapa banyak anak-anak asli Papua di FK Uncen terutama anak-anak asli Papua dari gunung banyak yang tidak lulus dan tidak bisa selesai jadi dokter, kita bisa mendapatkan fakta memprihatinkan. Terdapat beberapa mahasiswa yang sejak lama, ada yang sudah sampai 15 tahun sekolah tetapi belum juga selesai-selesai, entah karena apa. Tidak jelas. Hal-hal yang tampaknya sepeleh, tetapi seolah menjadi  masalah yang sangat kompleks bagi mahasiswa Papua.
Seorang dokter muda asal Papua yang sudah sekitar 10 tahun menjalani praktek di KOASS dengan menghabiskan hampir setengah masa muda hidupnya di KOASS menceritakan kepada penulis. Bahwa masalah dirinya sebenarnya tidak seberapa parah. Hanya karena dirinya sempat keluar dari suatu stase, lalu oleh dosen-dosennya yang adalah dokter tidak mau meluluskan dirinya sesudah itu. Berulang kali dia masuk di bagian yang sama tetapi tidak pernah selesai-selesai. Oleh mereka, dia sering dicoret dan dikeluarkan hanya karena alasan-alasan yang sebenarnya sangat sederhana bahkan terkesan mengada-ada untuk mempersulit dst. Selain itu, adapula yang tidak selesai karena beberapa dosen yang bertugas mendidik sambil bekerja, lebih sibuk bekerja melayani pasien daripada mendidik mahasiswa. Hal tersebut mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus antre menunggu untuk selesai di bagian tersebut. Hal itu juga berdampak pada waktu dan target selesai mereka yang makin panjang. Lebih disayangkan biaya yang keluar tidak bisa dihitung karena makin besar. Dan lebih banyak mahasiswa Papua dikenakan sanksi yang sebenarnya tidak perlu misalnya dari aspek disiplin waktu, miskomunikasi dan hal-hal lain yang tidak terlalu mendasar. Akhirnya semua itu selalu mengakibatkan banyak mahasiswa Papua yang selesai setiap tahun sangat sedikit. Sedangkan para pendatang selalu pasti dominan setiap tahun.
Apalagi dalam konteks anak gunung. Lihat saja selama 4 atau 5 tahun pelantikan dokter, dalam masa dekan yang sekarang, mungkin paling banyak hanya 5 orang yang sudah dilantik menjadi dokter. Artinya angka kelulusannya: 1 orang dokter asal gunung setiap tahun. Mengapa demikian? Alasannya tidak lebih sudah diutarakan di atas. Hal-hal serupa juga berlaku di pendidikan kampus atau praklinik. Anak-anak Papua yang sudah dari budayanya lebih solider dan lebih jujur dan lebih mengedepankan kebersamaan dan menjunjung nilai-nilai sosial. Dalam ruang dan waktu tertentu mereka harus menerima sanksi dan tidak lulus akibat dikenakan hukuman dan sering dianggap (Lola) loading lambat, tidak bisa selesai mengerjakan tugas dan ujian karena akses terhadap soal-soal/kisi-kisi yang terbatas. Namun sebaliknya anak-anak pendatang yang memiliki akses ke dosen dan ke sesama mereka  yang dominan dan menguasai, mereka dapat memperoleh kisi-kisi, bocoran soal sehingga dalam ujian mereka bisa lulus semua dan cepat selesai.
Dalam rangka mendapat bocoran soal atau apa (katanya supaya bisa belajar dari teman-teman pendatang), anak-anak Papua selalu disarankan oleh dosen-dosen agar belajar dan bergaul dengan para pendatang. Padahal semuanya hanya karena soal dominasi dan akses kepada kekuasaan dan pusat. Semua persoalan yang bernuansa rasialis ini justeru terjadi di Papua dan ada kesan terdapat kesengajaan oleh mereka yang menguasai dan mengendalikan sistem. Padahal di luar Papua hal semacam itu dihindari demi mempercepat pembangunan orang Papua. Ini justeru terlihat sangat paradoksal. Apakah ini karena ada upaya penguasaan sistem kedokteran dan kesehatan oleh para dokter yang ada saat ini guna melakukan praktek monopoli dan melanggengkan status quo? Ataukah ini adalah sistem yang memang sedang dipelihara untuk terus membiarkan orang Papua habis (baca:punah) melalui proses pembiaran atas kebobrokan sistem kesehatan sebagai strategi dalam mendepopulasikan Orang Papua selain melalui penembakan? Semua itu jelas terus mempengaruh persepsi publik suku-suku bangsa yang menderita dan mengalaminya sejak lama.

4. PENUTUP
Ada banyak persoalan yang dihadapi dalam pengalaman praksis rasialisme di dalam sistem  pendidikan di Uncen khususnya di FK Uncen. Tapi untuk sementara ini, cukup hanya sampai di sini dulu. Nanti disambung lagi di lain waktu. Dan satu hal yang ingin penulis sampaikan adalah begini. Semua perilaku, khususnya dari kaum pendatang di tanah Papua terhadap orang Papua yang dengannya selalu memainkan praktek monopoli-diskriminasi berdasar perbedaan rasial pada bagian-bagian tertentu (profesi, jabatan dan posisi-posisi kerjaan lain) yang merupakan kepunyaan orang Papua, maka selama hal tersebut terus terjadi sampai selama-lamanya hanya akan membuat semua upaya pembangunan atau proses untuk merebut hati orang Papua untuk menjadi bagian dari NKRI itu kian sukar. Dan pemerintah NKRI akan selalu dipandang GAGAL dalam membangun dan meng-Indonesia-kan orang asli Papua. Itu adalah konsekuensi yang pasti. Sangat pasti.
Dalam kondisi demikian, para pimpinan pendidikan tinggi yang sebenarnya anak asli Papua adalah pribadi yang paling ikut bertanggung jawab baik terhadap kegagalan memajukan sektor kesehatan Papua, menyelamatkan nyawa-nyawa manusia Papua dipelosok-pelosok yang setiap hari meninggal karena gizi buruk, tidak adanya pemerataan SDM dokter di seluruh tanah Papua dsb. Hingga akhirnya berdampak pada kepunahan Orang Asli Papua merupakan tanggung jawab mereka di hadapan Sang Pencipta karena abai dan cenderung mengurus kepentingan pribadi, kelompok suku dan golongan strata sosial maupun profesi yang cenderung melanggar sumpah janji hipokrates dst.**

Penulis.pace papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar